Wednesday, November 29, 2023

November

     Sembilan burung layanglayang di atas pohon beech
yang ditebang,
daun-daun kusut di cabang paling atas
           hanya bertahan,

Kabut balu berkerumun
         di atas ladang berlubang,
                       sehari nyaris/selesai tetapi

Demi seoles biru di dekat punggung bukit,
               noda asap senja
       memukul jemari lembang yang kaku

                Lonceng hitam malam berdiam
di rumah yang tertutup, pagar–belakang
      belang-belang.

                        Karena aku tahu
Aku dimaksudkan untuk kesepian,
          engkau adalah dia yang aku pilih untuk dicinta: hantu,
pemburu–

Kita berdua tertangkap dalam satu mimpi.
                 suatu hari engkau datang dengan setumpuk
kayu, setiap rantingnya terbungkus es.

                 Atau itu juga sebuah mimpi, itu juga

––

Aku tahu engkau tak pernah bermaksud menyakitiku,
      burung-burung layanglayang beterbangan di atas tanganku.

November – Cynthia Zarin (1959- )
The New Yorker, November 27th 2023 

Thursday, November 23, 2023

Aku Ini Matang Karbitan

demam melebihi batas
setiap kali kaki gairah
menginjak syaraf gugup
paling sensitif

maka berkatalah seorang sahabat–
demikianlah risiko seorang pemimpi

impian berakhir di awal pandemi
mood berubah karena Bucha
mood merosot karena Gaza

dan seorang lelakitua di halte itu
menyiratkan risih ketika sepintaslalu
diketahuinya aku membaca sebuah artikel
tentang jiwa jurang nan mematikan
antara orang Israel dan Palestina
lewat fotofoto lama yang lebih tua darinya
di layar telepon genggamku

mendesis matanya seakan,
‘dasar anak muda suka berkerut kening’

yang ia tak tahu adalah Tuan Cohen menulisnya
langsung dari Yerusalem–kami di Jakarta

‘apakah aku semuda itu lagi?’–kutanyai diri sendiri

dulu sekali
ibuku bilang aku ini matang karbitan–
old soul” orang bule bilang

2023

 




 

Monday, November 20, 2023

Aku Adalah Sebuah Doa

Aku adalah sebuah doa
Aku adalah sebuah doa hujan di gurun ketika
mereka yang berbunga membutuhkan minum
Aku adalah sebuah doa
Aku adalah sebuah doa matahari ketika malam
tanpa akhir
Aku adalah sebuah doa
Aku adalah sebuah doa lautan ketika biru
tak ada lagi
Aku adalah sebuah doa
Aku adalah sebuah doa awan ketika sedikit yang mencipta
lagu hujan
Aku adalah sebuah doa
Aku adalah sebuah doa jalan-jalan yang tak menuju ke manapun
kecuali pulang
Aku adalah sebuah doa
Aku adalah sebuah doa burung-burung putih yang tak bisa terbang
menembus badai ketakutan
Aku adalah sebuah doa
Aku adalah sebuah doa api yang datang untuk
manusia, kemudian disalahgunakan untuk menghancurkan
Aku adalah sebuah doa
Aku adalah sebuah doa angin, yang menafas
membawa benih, serbuk sari, dan lagu-lagu untuk memberi makan
generasi-generasi
Aku adalah sebuah doa
Aku adalah sebuah doa bulan yang mengenakan malam
sebagai syal untuk menyembunyikan yang seharusnya sama sekali tak boleh
dikatakan
Aku adalah sebuah doa
Aku adalah sebuah doa duka, ketika hidup diperjudikan
dengan kematian dan menyerahkan keluarga-keluarga untuk senjata api
Aku adalah sebuah doa
Aku adalah sebuah doa kabut, bergentayangan di
rumah-rumah rusak, menyeraki lantai mencari
bendera putih alasan
Aku adalah sebuah doa
Aku adalah sebuah doa gunung-gunung, mereka yang tinggi
rendah hati yang setuju mengangkat matamu untuk
melihat
Aku adalah sebuah doa
Aku adalah sebuah doa puisi yang mengatakan
ketakbersuaraan kematian yang kembali untuk
berbicara dalam doa
Aku adalah sebuah doa dengan anak-anak di punggungku
mengelilingi rumah penghancuran dan penciptaan bumi
Aku adalah sebuah doa tanpa akhir

I am A Prayer–Joy Harjo (1951- )
The New Yorker, November 20th 2023

Tuesday, November 14, 2023

Springfield

Cari kamar, teriak seorang kawan di mobil Camaro
biru,
Ia terbuat dari kemarahan dan kaca bertinta, dan
kami terbuat dari hasrat dan seandainya dan apa yang aku
ingin
katakan adalah, Kawan,  kami punya satu kamar, tetapi
kami lapar. Saban tiga hari kami harus
makan
atau minum mimosa atau diteriaki olehmu. Cari
kamar, ia berteriak lagi, mungkin karena ia
pikir
kami kesulitan mendengar, atau karena itu menyakitinya
karena melihat kasih sayang kami. Mungkin ia berpikir:
betapa mubazirnya–dua wanita yang mungkin bisa
mencintainya. Alih-alih, kami mendapatkan
sandwich untuk
pergi dan kembali ke kamar yang kami sebut dengan kamar
kami, yang
bisa jadi di hotel manapun dekat sebarang jalan keluar di
Springfield
manapun, dengan dinding dan handuk putihnya
yang tak dikenal,
dengan laci kosong yang kau suka, dan
TV
layar-datar yang tampak terus membesar dan
makin datar.
Dan sejak kami mengambil daftar inventaris, jangan
lupa Injil di tepi ranjang dan pena merah
yang terselip di dalamnya, seakan-akan kami mungkin
terinspirasi untuk
melakukan koreksi. Dan datang untuk memikirkan itu,
aku
bakal suka membuat beberapa perubahan pada bagaimana hal-hal
meng
hasilkan, bagaimana mereka berubah menjadi sepeser uang, atau hancur
karena waktu telah lewat. Alih-alih, aku mendengarmu membaca dengan keras
pamflet-pamflet yang kau temukan di
lobi.
Fakta yang menyenangkan: bola basket ditemukan di
Springfield, Mass.,
sebagai karet yang divulkanisir. Lelaki yang
menulis
“Kucing dalam Topi” lahir di sini, dan
barangkali
yang paling penting, ini adalah tempat kelahiran
sukucadang yang bisa dipertukarkan–atau setidaknya tempat di mana
mereka pertama kali didapatkan. Pikirkan mesin jalur
perakitan, pikirkan produksi masal. Aku memikirkan
fakta menyenangkan tentang engkau, tentang betapa
aku mencintai asal-usul mitos, tentang bagaimana
orang-orang
bukanlah benda-benda. Kita tidak bisa divulkanisir, kita
tidak bisa, seperti rantai yang rusak, digantikan. Dan
aku memikirkan lelaki di Camaro
itu,
betapa yang sebenarnya mendorong dia adalah kesepian,
betapa kami melihat pengulangan dirinya di semua
Springfield yang kami temukan kami ada di dalamnya,
karena itu adalah fantasimu: engkau dan aku
di setiap Springfield di Amerika, di
Nebraska
dan Ohio dan Dakota Utara, dan kota-kota kecil
di Jersey dan Michigan, selalu di sebuah bar
motel, berpura-pura kita tak pernah bertemu. Dan tak lama
kemudian, setelah Idaho dan Maine, setelah Springfield di Kentucky
itu dan satu di
Texas
Timur, mitos berdering nyata: topi tuanya, kucing
tua dalam topi: dinding-dinding putih dan bar-bar
sabun kecil, yang jatuh tertidur di
tengah-tengah
kehidupan, bangun menuju satu tempat dengan satu nama
dan lainnya–bukan fakta yang menyenangkan persisnya,
hanyalah apa yang para novelis Rusia yang tak
kebal dari Springfields ketahui tentang ketidakbahagiaan.

Springfield–Andrea Cohen (1961 - )
The New Yorker–Oktober 9th 2023

Natal dalam Paranoia Ganja


Jika Anda adalah seorang pengangguran yang hanya menggantungkan hidup pada pekerjaan paruh-waktu yang tak pasti dan bantuan dari saudara serta teman, maka hari libur tiada bedanya dengan hari biasa.

Akhir tahun ini, akhir 2015, hari libur bagi yang memiliki pekerjaan tetap menjadi sesuatu yang menggembirakan. Bukan saja karena berlibur saja sudah membuat gembira, namun susunan tanggal merah di kalender membuat liburan akhir tahun cukup panjang.

Libur dimulai pada 24 Desember yang merupakan hari peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, disusul dengan hari Natal, dan kebetulan diikuti dengan hari libur reguler karena 26-27 Desember adalah hari Sabtu dan Minggu.

Seorang teman, yang memiliki pekerjaan reguler, mengajak saya menghabiskan libur ke kampung halamannya di Desa Gentawangi, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah. Dia bersedia menanggung akomodasi karena dia tahu saya seorang pengangguran.



Kami berjanji bertemu di Stasiun Tebet, Jakarta Selatan, karena saya harus menumpang komuter dari Lenteng Agung untuk mencapai titik tengah karena teman saya ini tinggal di wilayah Sunter, Jakarta Utara. Kami berangkat dengan Vespa PX-Piaggio keluaran 1994 yang cat body-nya sudah dikerik. Vespa ini cukup mencolok karena body-nya tampak seperti kaleng. 


Saya tidak terlalu handal dalam urusan mengemudikan kendaraan. Saya pernah mengendarai Vespa tetapi itu sudah lama sekali dan sudah beberapa tahun ini sebagian besar transportasi yang saya lakukan menggunakan angkutan umum. Maka, dengan kondisi seperti itu, teman saya yang mengambil posisi sebagai pengendara.

Kami meninggalkan Tebet pada pukul 00.30 dini hari. Menjelang simpang empat Metropolitan Mal, Bekasi, kami berhenti karena ada seseorang yang mendorong sepeda motornya sambil berjalan. Ternyata seorang petugas Go-Jek, seorang perempuan. Teman saya bertanya kepadanya apakah dia kehabisan bensin. Dia menjawab ya. Dan teman saya menuangkan bensin cadangan dari sebuah galon yang digantungkannya di cantelan helm di dekat jok ke tangki motor perempuan tersebut. Seorang perempuan lain, tampaknya penumpang Go-Jek tersebut, menunggu sambil memainkan telepon genggamnya.

Dua jam kemudian kami sampai di Cikarang, Jawa Barat. Karena lapar, kami mampir di sebuah warung nasi uduk di tepi jalan. Penjualnya adalah seorang perempuan setengah baya dibantu seorang lelaki yang tampaknya bertugas sebagai asisten. Di meja, tersedia berbagai macam lauk dan makanan yang boleh dibilang cukup beragam.

Kami makan dan sepertinya warung itu cukup ramai. Mereka melayani para pejalan juga para sopir. Kami berangkat setelah saya membeli empat batang rokok kretek Sampoerna di warung yang tak jauh dari situ.

Suasana Jakarta semakin meredup ketika kami menjelang sampai di Karawang. Pohon-pohon di tepi jalan dan sawah-sawah yang menghampar setelahnya, juga bulan yang memancar di langit, membuat saya mengusulkan berhenti sesaat untuk melakukan semacam “kriminal kecil”.

Kami berhenti dan memarkir Vespa di sebuah jalan kecil yang merupakan jalur menuju sawah. Dalam kegelapan dan sesekali diterpai oleh cahaya lampu kendaraan yang lalu-lalang dalam jarak yang cukup hening, kami mengelupaskan sambungan kertas penggulung rokok kretek Sampoerna dari tembakaunya, dan menggunakannya untuk melinting ganja. Oh, cimeng, Bro!


Ganja, bagaimanapun, selalu membuat jantung berdebar. Sifat kriminal yang dilekatkan pada dirinya membuat saya selalu punya paranoia ketika menghisapnya di tempat terbuka, dan apalagi, yang tidak saya kenal betul. Debar itu mengencang ketika seseorang dengan sepeda motor dari tepi jalanan masuk ke jalan kecil dan mengarah ke tempat kami berdiri.

Saya dan teman saya bersigap menyembunyikan ganja yang kami letakkan di atas jok Vespa. Yang datang adalah seorang lelaki yang tampaknya berusia di atas 50 tahun dan sedang menuju sawah atau ladangnya. Lelaki itu menyapa kami dan teman saya menjawabnya dengan mengatakan bahwa kami parkir di sana karena lampu Vespa kami bermasalah.

Tak lama setelah itu, seorang petani lainnya, datang berjalan kaki, juga menuju sawahnya. Saat kembali melihat ke arah atas jok, saya melihat serpihan ganja terserak karena kertas koran pembungkusnya robek akibat saya menggenggamnya terlalu keras.

Saya menghisap ganja itu sendirian. Agak sedikit susah dihisap karena sepertinya lintingan saya tidak sempurna. Teman saya tidak mau menghisap ganja yang notabene adalah miliknya. Saya menghabiskan lintingan itu dengan terburu-buru.

Pagi harinya, kami sampai di sebuah pantai di kawasan Indramayu. Mampir ke sana dan beristirahat di gubuk bambu yang berdiri menjorok ke laut sekitar sepuluh meter dari tepian yang diawali dengan bebatuan. Di sana, teman saya bilang dia ingin ganja. Lalu saya melintingnya. Dan kami membakarnya.


Tak lama kemudian, perut saya mengisyaratkan ingin buang air besar. Tak jauh dari sana, ada toilet umum yang tidak perlu saya ceritakan bagaimana kondisi kebersihannya, dan saya membayar tiga ribu rupiah untuk sekali buang air besar di sana.



Saya kembali ke gubuk, di sana kami merebahkan badan dan berbicara tentang komposisi lagu “Photograph” yang diciptakan oleh Ringo Starr, juga perilaku musisi lokal seperti Dadangnya Dialog Dini Hari. Teman saya bertanya apakah saya menyukai Dialog Dini Hari, saya jawab secara jujur, tidak.




Kami lanjut lagi dan berhenti menjelang Cirebon setelah teman saya melihat tulisan”empal gentong” di papan-papan sepanjang jalan. Dia bertanya kepada saya apakah saya pernah tahu tentang “empal gentong”, saya menjawab yang saya tahu hanya “empal”, yaitu daging goreng.



Vespa menepi di sebuah warung dengan balai bambu. Di sana ada gerobak “empal gentong” dengan kendi besar di atas bara mirip seperti gerobak tongseng yang bisa ditemui di Jakarta. Empal gentong ternyata adalah daging dan tetelan yang dimasak dengan santan dalam gentong dari tanah liat yang dipanaskan bara dan dimakan dengan lontong yang dibungkus daun pisang. Satu porsi harganya Rp12 ribu. Yang memasak dan melayani kami adalah seorang perempuan yang sepertinya berusia di atas 50 tahun dan memiliki warung kerupuk dan keripik di seberang warung tempat kami makan empal gentongnya.

Di kota Cirebon, Vespa mogok tepat di depan para penggali jalan yang sedang bekerja. Teman saya menggunakan bensin cadangannya. Cirebon betapa panasnya disertai beberapa penggali jalan yang memperhatikan kami dengan tatapan tak peduli.

Perjalanan berlanjut dan ketika sampai di Brebes sekitar pukul 14.30, kami berbelok ke jalan alternatif menuju Purwokerto. Langit semakin mendung ketika kami sampai di kecamatan A dan berhenti di sebuah SPBU. Di emperan bangunan kantor SPBU, kami makan nasi bungkus sambil ‘ngobrol dengan petugas parkir di sana. Petugas parkir itu sempat bertanya pada saya dengan bahasa Jawa yang saya pahami berarti “pulangnya ke mana, Mas?”

Saya jawab, “ke Jatilawang”.

Lalu dia menjawab dalam bahasa Jawa, “wis pereg”.

Karena dia melihat raut saya yang mungkin memancarkan ketidakmengertian, dia bertanya lagi, “iso ngomong Jowo, Mas?”

Saya jawab, “bisa, ‘dikit-dikit.”

Lalu dia bertanya tentang dari mana saya berasal, dan ke tempat siapa tujuan saya dalam perjalanan kali ini. Dan yang jelas, dia tampaknya tertarik dengan Vespa teman saya.

Perjalanan dari tempat ini diwarnai hujan dan macet. Saya bertanya-tanya dalam hati, bagaimana bisa di daerah pedesaan yang hijau seperti ini bisa ada kemacetan kendaraan yang hampir tak ada bedanya dengan yang terjadi di Jakarta? Teman saya bilang, kemacetan kali ini mendekati seperti yang terjadi di masa lebaran. Mungkin efek kalender tanggal merah yang panjang.

Ketika melihat gundukan tanah berumput di tepi sungai, kami mampir, duduk di bawah sebuah pohon, dan lagi-lagi menghisap ganja di sana.



Kami berhenti lagi di kecamatan Wangon, di sebuah SPBU, ketika teman saya hendak melakukan shalat Ashar. Saya tidak shalat. Dua orang pemuda yang mengaku hendak pulang ke Cilacap menawari saya makanan. Saya menolaknya.

Dari Wangon, teman saya bilang tujuan kami tinggal setengah jam waktu tempuh lagi. Dalam perjalanan, dia sudah merasakan atmosfir desanya. Jalanan yang kami tempuh berada di antara perbukitan, sawah, dan hutan.

Kami belok kiri di Jatilawang masuk ke arah desa Gentawangi. Di jalan desa ini, seperti kebanyakan jalan di desa Jawa, diwarnai dengan hamparan sawah, bukit, dan pohon-pohon di batas antara sawah-parit dan aspal. Desa itu sedang ramai karena masyarakat sedang menonton pengaspalan jalan kampung.

Kami tiba di rumah teman saya sekitar pukul 17.00 wib. Di beranda rumah, ayahnya sedang duduk sendiri sambil menghisap rokok.

Di malam hari, kami berkeliling desa mengendarai sepeda motor ayah teman saya, sebuah Honda Astrea Prima yang sangat terawat. Kami masuk ke jalan-jalan kecil di samping rumah-rumah. Teman saya bilang dia ingin melihat perubahan-perubahan di kampungnya setelah sekian tahun tinggal di Jakarta.

Teman saya bertemu dengan seseorang yang menurutnya adalah salah satu teman sebayanya. Mereka berbicara dalam bahasa Jawa yang tidak terlalu saya pahami.

Dari sana, kami membeli kertas papir merk Wayang yang satu paknya dijual dengan harga Rp500 di sebuah warung. Jenis papir ini mengeluarkan bau yang menyengat, yang mampu membuat kita benar-benar merasakan suasana Jawa. Di Jakarta, orang-orang menyebut jenis papir ini dengan “Papir Jawa.”

Lalu kami bergerak menuju lapangan sepakbola kampung. Kami duduk di beton parit yang membatasi lapangan dan sawah. Di sana kami menghisap ganja lagi.Suasana malam di desa itu terlalu tenang. Demikian tenangnya, suara satu sepeda motor saja bisa terasa terlalu mencolok. Namun kebisingan bukannya tidak ada. Itu datang dari anak-anak muda. Misalnya, mereka seperti terbiasa dengan anak muda yang mengendarai motor agak sedikit kencang dan menimbulkan suara yang cukup berisik. Atau, sepelemparan batu dari tempat kami duduk, sekelompok anak muda sedang berkumpul dan kami bisa mendengar tawa mereka yang sama mencoloknya dengan suara motor.

Lalu kami pulang. Kelelahan membuat saya tidak sulit untuk tidur.

Teman saya membangunkan saya sekitar pukul 04.30 pagi. Jadwal hari itu adalah ke pantai! Setelah mandi, kami sarapan di beranda rumah bersama ayah dan ibu teman saya. Menu pagi itu adalah lontong yang ukurannya cukup besar dan bakwan jagung. Hanya dengan sepuluh ribu rupiah, lontong dan bakwan jagung itu cukup membantu ketika kami kelak lapar di pantai.

Ke pantai, kami menuju Bunton. Pantai Bunton terletak di kabupaten Cilacap. Dari Jatilawang, letaknya sebelum kota Cilacap. Dari Gentawangi, perjalanan menuju Bunton membutuhkan waktu sekitar 30-45 menit.


Di pantai tak ada yang kami lakukan selain duduk menikmati matahari pagi, berbincang, dan menghisap ganja. “What a beautiful mornin’”. Lagi-lagi, paranoia itu datang ketika tiga orang terus-menerus bermain-main dengan air laut sambil mendekati tempat kami duduk. Karena terlalu berhati-hati, saya meremas lintingan ganja yang ada di tangan saya.Seiring dengan menanjaknya matahari dan terganggunya privasi, kami meninggalkan pantai. 

Dari Bunton, teman saya mengambil jalur menuju Purwokerto dan berbalik-arah di kecamatan Rawalo. Rawalo adalah daerah yang indah. Di satu sisi, jalan raya akan diwarnai dengan hutan pinus dan diseberangnya adalah sungai Serayu dan PLTA Serayu.



Karena ingin mencari tempat yang aman dan asyik untuk membakar ganja, kami mencari tempat di tepi sungai.

Ada sebuah tepian dengan warung-warung bambu yang sepi. Tepian itu dibatasi oleh sebuah pohon besar yang kerindangannya menjorok ke arah daratan. Di bawah rindangan pohon itu, kami melihat tiga orang lelaki sedang membuat perahu. Salah seorang dari mereka menyelipkan pensil di sela telinganya, mungkin dia adalah perancang perahu itu.



Saya di atas batu besar duduk melihat konstruksi perahu itu, teringat kayu tengah “keelson”-nya bahtera Nuh yang oleh sebagian orang dianggap sebagai kelson yang ditulis oleh Walt Whitman dalam salah satu masterpiece-nya. Pembuat perahu itu berbincang dengan teman saya. Dari teman saya, saya mengetahui bahwa laki-laki yang menyelipkan pensil di sela telinganya itu mendapatkan ilmu membuat perahu secara turun-temurun dan otodidak. Luar biasa!

Tak jauh dari sana, ada dataran yang dipenuhi oleh balok-balok kayu. Saya membayangkan kami duduk di atas balok-balok itu dan menghisap ganja. Namun, cuaca terlalu panas dan kami bergerak menuju tepi sungai Serayu yang berbatasan dengan kebun penduduk.


Di tepinya, Serayu dilindungi bebatuan. Di sana, ada sebuah pohon tempat kami berlindung dari panas matahari. Di sana, kami mengunyah lontong-bakwan jagung sisa sarapan pagi tadi. Saya meminum air kali Serayu langsung dari alirannya.



Sampai di Gentawangi sekitar pukul 11.00 wib. Kami mampir di rumah BuDe alias kakak perempuan ayah teman saya. Di rumah itu sedang ramai karena malam harinya akan ada acara syukuran. Hari itu, cucu Bu De teman saya disunat. Dalam situasi seperti ini saya sering mengalami perasaan sebagai orang asing. Bukan saja asing karena saya baru kali pertama datang ke desa ini, sekaligus juga saya tidak terlalu mengerti bahasa Jawa yang digunakan oleh orang-orang di sini.

Ada beberapa perempuan yang secara usia tampak seusia ibu atau bibi saya di sana. Ada juga yang seusia nenek saya yang sudah meninggal dunia. Di sana mereka menanyakan kabar teman saya. Lalu, ketika teman saya dipanggil ibunya dari ruang belakang dekat dapur, saya menghadapi situasi di ruang depan sendirian. Saya mendengarkan ibu-ibu di sana menyebut-nyebut kata “Jambi”. Saya menduga-duga saja bahwa mereka sedang membicarakan saya karena di malam sebelumnya saya menceritakan kepada orang tua teman saya bahwa saya berasal dari Jambi yang terletak di pulau Sumatera.

Tak lama kemudian, kami kembali ke rumah teman saya yang hanya berjarak tiga rumah dari rumah Bu De-nya. Sesampainya di rumah, teman saya bilang dia harus pergi shalat Jumat karena hari itu adalah hari Jumat. Saya bingung lagi. Saya memang jarang shalat. Tetapi karena perasaan saya sebagai orang asing, saya bertanya-tanya, “haruskah saya ikut dengan teman saya shalat Jumat?” Pertimbangan saya adalah, saya sulit sendirian di rumah teman saya kalau dia tidak ada. Saya termasuk orang yang sulit membuka pembicaraan dengan orang lain dan cenderung diam ketika berada di lingkungan yang tidak terlalu saya kenal. Selain itu, pepatah dari kampung halaman yang mengatakan “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung” membuat saya merasa agak risih jika penduduk di desa ini melihat saya tidak pergi ke mesjid ketika orang-orang berada di sana.

Tetapi, saya punya naluri yang lain juga. Bahwa, shalat Jumat kali ini adalah momen pribadi antara ayah dan anak dalam dunia teman saya dan ayahnya. Teman saya akhirnya pergi shalat Jumat bersama ayahnya.Mereka memaklumi keinginan saya untuk tidak ikut sekaligus maklum pula bahwa saya pasti mengalami kesulitan ketika sendirian tanpa teman saya. Sementara itu, saya melihat ketegangan seperti itu sebagai urusan keluarga.
Sebelum berangkat, teman saya menganjurkan saya untuk pergi ke tepi sungai Tajum yang berjarak hanya sekitar 30-40 meter dari beranda rumahnya. Maka setelah saya berpamitan dengan ibu teman saya, saya pergi menikmati tepian sungai Tajum.

Ke sungai Tajum, saya harus melewati kebun pisang, pepaya, singkong, dan palawija lainnya. Ada seorang nenek yang sedang memisahkan daun pisang kering dari batang pelepahnya yang masih tersangkut di pohon. Saya berusaha menyapa si nenek dengan berharap dia melihat ke arah saya saat saya melihatnya. Nenek itu tampak cukup sibuk, saya berlalu.

Di tepi sungai Tajum ada kerangka bangunan beton setinggi sekitar dua meter. Saya memilih duduk di atas beton itu, di tempat yang teduh di dekat rumpun pohon pisang. Waktu saya sampai di sana, azan shalat Jumat sedang berkumandang. Di seberang, tampak beberapa petani beristirahat. Saya berpikir, ternyata saya tidak sendirian. Petani-petani itu juga tidak shalat Jumat.

Saya melinting ganja dan membakarnya di sana. Petani di seberang sepertinya memperhatikan saya. Bagaimana tidak? Saya tidak bisa tetap merasa seperti di Jakarta dimana kepadatan membuka peluang bagi saya untuk berusaha “tidak terlihat”. Di desa ini, mereka mengenal satu-sama lainnya, dan mereka pasti akan memperhatikan orang asing seperti saya.

Hari itu saya mengenakan kaca-mata hitam. Sementara beberapa petani di seberang sana bertepuk-tangan sambil berteriak, seolah-olah hendak berbicara dengan orang yang ada di seberang sini. Saya merasa teriakan itu ditujukan kepada saya. Seolah-olah, teriakan itu dimaksudkan bahwa saya tidak sedang sendirian di sana dan tidak bisa mendapatkan “privasi” begitu saja.

Apa yang saya cari di sana memang privasi. Privasi untuk menikmati alam yang belum pernah saya datangi sambil menghisap ganja sambil mengenakan kacamata hitam. Tetapi, saya seringkali merasa gagal mendapatkan privasi itu ketika asap ganja sudah menguasai kepala saya. Ganja adalah paranoia.

Ketika suara khotbah di mesjid sudah berhenti, dan sepertinya orang-orang sudah mulai shalat, ketidaknyamanan itu semakin menjadi-jadi. Sayup-sayup saya mendengar suara orang sedang merobek atau mengumpulkan daun. Suara itu semakin lama semakin dekat. Saya memutuskan pergi dari sana dan ketika saya menemukan sumber suara kerisik daun itu, ternyata itu berasal dari si nenek yang saya temui ketika saya datang tadi. Si nenek tetap dingin. Saya tak berani menyapanya.

Dari sungai Tajum, saya menempuh jalan setapak mendaki untuk sampai di jalan aspal. Kemudian saya duduk di beranda rumah teman saya sambil menunggu dia pulang. Ketika melintasi jalanan, saya juga melihat seorang kakek duduk di beranda rumahnya sendirian justru ketika orang-orang sedang berada di mesjid. Saya ternyata tidak sendirian.

Teman saya akhirnya datang bersama ayahnya. Setelah itu, teman saya mengajak saya kembali ke sungai Tajum. Di sana kami mandi-mandi, menghisap ganja, dan membicarakan kontras antara kehidupan di desa teman saya dengan Jakarta. Juga masalah pekerjaan dan beberapa hal-hal pribadi.



Kami kembali ke rumah dan berencana ke Purwokerto malam itu. Di beranda rumahnya, sedang berkumpul kerabat dan tetangga teman saya. Saya masuk ke kamarnya, tidur, sambil mendengar samar-samar orang-orang berbicara di beranda.

Menjelang senja saya bangun, mandi. Usai mandi, saya melihat tiga helai baju batik yang terlipat dengan rapi di atas tempat tidur. Teman saya memberitahu saya bahwa kami akan pergi ke rumah Bu De-nya untuk menghadiri syukuran. Saya diminta memilih satu dari tiga helai kemeja batik itu. Saya memilih salah satu yang berwarna coklat.

Dalam syukuran itu, seperti yang pernah saya lihat di kampung halaman saya, adalah untuk kaum lelaki. Di ruang utama, para lelaki duduk bersila-bersandar ke dinding rumah, di depan mereka sudah tersaji piring-piring berisi makanan. Sementara itu, kaum perempuan berkumpul di dapur untuk menyiapkan sajian.

Teh tawar hangat diedarkan ke dalam lingkaran, lalu piring makanan yang berisi lauk seperti ayam, telur, dan tempe. Di tengah lingkaran, membentang jejeran daun pisang, di atasnya ada nasi yang dicampur kelapa yang diatasnya juga ditutupi daun. Kata pembuka disampaikan oleh lelaki yang dipanggil “Eyang Kakung”, lalu seseorang memimpin doa, dan makan.

Yang berbeda dengan syukuran di kampung halaman saya, tamu tidak membawa oleh-oleh atau yang dikenal di Jakarta dengan istilah “besek”. Makan diselesaikan di rumah yang punya hajat. Kami membawa pulang tiga besek, satu di tangan saya, satu di teman saya, dan satu pada ayahnya.

Setelah itu, kami ke Purwokerto. Ke Purwokerto, sayalah yang mengendarai Vespa. Kami melewati hutan pinus Rawalo yang kami lalui tadi pagi dan sampai di Purwokerto sekitar pukul 20.00 wib. Di perjalanan, saya bertanya mengkonfirmasi kepada teman saya tentang keramaian di beranda sore tadi ketika saya tidur.

Teman saya bilang, dia berbincang-bincang dengan sejumlah kerabat dan “mbah”. Salah satu yang mereka bicarakan adalah kisah tentang PKI. Saya tidak terlalu jelas menangkap keterangan teman saya tentang kisah yang disampaikan mbah-nya. Dia bilang, di masa PKI masih ada, di desanya ada tujuh polisi desa yang disebut dengan “Tujuh Setan Desa”. Tujuh Setan Desa merupakan target pembunuhan oleh PKI. Namun, anehnya, salah seorang dari Tujuh Setan Desa ini pernah ikut dalam salah satu rapat PKI. Dan “setan desa yang seorang” itu masih termasuk kakek teman saya. Saya sulit memahami alur ini.

Dari ibunya, teman saya mendapat kisah bahwa di masa penangkapan orang-orang yang dianggap terlibat dengan PKI, banyak burung hantu bermunculan. Di malam hari, burung-burung hantu itu ramai-ramai bersuara menjadi suara latar suasana desa.

Tentang kisah PKI, saya tidak aneh. Karena jauh sebelum saya mengenal teman saya, saya pernah mendengar cerita tentang PKI di wilayah Banyumas dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karangan Ahmad Tohari. Saya juga tahu bahwa Ahmad Tohari tinggal di Jatilawang. Dan dari teman saya, saya tahu bahwa “Dukuh Paruk” yang dimaksud oleh Ahmad Tohari adalah pseudo-namedari desa Ciparuk. Di seberang sungai Tajum, kata teman saya, di sanalah desa Ciparuk.



Mari kembali ke perjalanan... Purwokerto ternyata kota yang cukup maju. Setidaknya jika dibandingkan dengan kota kampung halaman saya. Kami melewati alun-alun kota yang ramai, lalu melintasi STM Negeri tempat teman saya dulu bersekolah. Setelah berputar-putar, kami berhenti di sebuah angkringan di samping STM Negeri bekas sekolah teman saya.

Di titik itu, Purwokerto terlihat sangat terawat. Jalan raya di depan saya adalah jalan yang baik dan lurus. Di seberang, berdiri kantor pajak setempat. Jalan ini mirip jalan protokol di sebuah kota. Menurut teman saya, jika dibandingkan dengan Jakarta, jalan ini layaknya jalan HR Rasuna Said-Kuningan.

Sekitar pukul 21.30 wib, kami pulang ke Jatilawang.

Sebagai laki-laki, saya harus jujur bahwa kami pulang ke Gentawangi dalam kondisi perut mulas. Sampai di desa, teman saya mengajak saya ke jalan di tepi sawah untuk mencari tempat buang air besar. Kami berhenti di tepi parit dekat sawah. Di sana, ada dua jamban yang dipisahkan oleh rumpun pisang. Di sanalah kami buang air besar. Untuk membersihkan pantat, ada tangga yang bisa dituruni menuju parit yang dialiri air.

Kami sampai di rumah dalam keadaan lelah. Teman saya mematikan lampu beranda. Saya melinting, dan kami pun membakar ganja sebelum tidur.

Dalam perjalanan ke Purwokerto, saya mengusulkan ke teman saya untuk mengunjungi desa Ciparuk yang diduga merupakan setting yang digunakan Ahmad Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk. Kami berencana berangkat kembali ke Jakarta pada pagi hari. Saya mengusulkan kepada teman saya untuk melewati Ciparuk sebelum pergi.

Namun saya punya kesulitan bangun pagi. Apalagi tubuh masih lelah karena perjalanan. Saya tidur dan bangun di siang menjelang sore. Lalu mandi dan makan. Vespa sudah disiagakan, barang-barang sudah dipak. Saya, teman saya, dan ayah-ibunya, berbincang-bincang di beranda hingga sekitar pukul 16.00 wib.

Seorang mbah yang tinggal persis di sebelah rumah teman saya, yang menurut teman saya berusia 95 tahun, turut melepas kami. Vespa pun bergerak!

Setelah menempuh satu jam perjalanan, kami terjebak macet yang membosankan. Saya berjalan ke arah depan untuk mencari tahu penyebab kemacetan. Ternyata, ada buka-tutup jalan sehubungan pengaspalan jalan.

Saya duduk di dalam sebuah pos ronda desa. Tak jauh dari sana, ada sebuah warung. Antara pos ronda dan warung dibatasi jalan desa yang berkerikil. Sawah menghampar di kedua sisi jalan itu.

Di warung ada beberapa orang pemuda. Salah seorang di antaranya menghampiri saya, menanyakan tujuan saya, dari mana saya berangkat, dan mereka heran ketika saya bilang saya dan teman saya berangkat ke Jakarta dengan Vespa. Selepas kemacetan itu, hampir tak ada lagi kemacetan berarti yang kami temui di sepanjang perjalanan.

Sebagian besar perjalanan kami habiskan di malam hari. Sesekali saya mengendarai Vespa. Kami berhenti untuk makan, tidur, menghisap ganja, buang air besar, mengisi bensin, dan menawarkan bantuan jika ada orang yang mendorong motor di jalanan karena kehabisan bensin. Sepanjang malam saya mencatat dua kali kami berhenti untuk menghisap ganja. Sekali di antaranya hanya saya yang melakukannya.

Pagi hari menjelang Karawang, perut kami kembali bermasalah. Kami mencari tepian sungai yang memungkinkan kami untuk buang air besar. Kami berjalan terus sampai memasuki kota Karawang. Tibalah kami di sebuah sungai yang dilewati jembatan rel kereta api. Dan untuk sampai ke sana kami harus melewati pasar tradisional yang ramai dan becek.

Di sebuah gang, kami berbelok. Di sana ada gubuk-gubuk yang dindingnya terbuat dari papan dan triplek. Vespa diparkir, saya dan teman saya mencari tempat untuk buang air besar. Di tepi sungai, ada rakit yang bisa digunakan untuk mandi dan “berjongkok”.

Bagi saya, buang air besar adalah privasi. Saya memilih untuk mencari tempat yang agak menjauh agar saya tidak dilihat oleh siapapun saat buang air besar. Dengan ringannya saya melangkah di tanah tepi sungai. Dan tiba-tiba, jeblos!,kaki saya terbenam dalam lumpur basah sebatas mata kaki. Ternyata lumpur yang tampak kering itu terlalu lembab untuk dilewati.



Saya membuka sepatu dan berjalan dengan kaki telanjang. Ketika saya mendapatkan tempat yang saya anggap privat, kaki saya kembali tenggelam ke dalam lumpur. Tepian yang saya inginkan tak bisa dijadikan untuk tempat berjongkok.

Akhirnya saya pergi ke daratan. Ke tanah yang bukan kebun karena yang tumbuh di sana adalah tumbuhan semak. Di sanalah saya buang air besar dengan cara seperti itu untuk terakhir kalinya setelah saya melakukannya di masa kanak-kanak dan remaja.

Dengan sangat terpaksa saya membasuh pantat saya di atas rakit tempat teman saya tadi berjongkok. Setelah itu membersihkan lumpur yang menempel di kaki, sepatu, dan celana saya. Teman saya berenang di dalam air.

Kami pergi setelah sarapan dengan bekal yang dibuatkan oleh ibu teman saya. Saya melinting ganja, seorang penduduk setempat berjalan ke tepi sungai. Saya menyembunyikan lintingan yang sudah jadi, berpura-pura tak melakukan apa-apa. Kami bertegur-sapa. Lelaki itu sepertinya penjala setempat yang bersiap turun ke sungai.

Saya tetap merasa seperti diawasi. Laki-laki itu duduk di sana bertelanjang dada, bercelana pendek, dan menghisap rokok sambil menghadap ke arah seorang penjala lain yang sedang menjala di sungai. Saya melihat tato dengan tinta berwarna biru di lengan sebelah kanannya.

Laki-laki itu kemudian turun ke sungai. Dan kami membakar ganja.

Pemberhentian terakhir adalah Rumah Sakit Hermina, Bekasi. Kami berencana mampir ke rumah seorang teman. Di depan rumah sakit, kami menghubungi teman kami yang menurut teman saya tinggal di dekat sana. Namun, tak ada jawaban ketika kami menghubunginya.



Teman saya menawarkan pilihan untuk langsung pulang. Saya menyetujuinya. Vespa pun diaktifkan kembali, ketika gigi satu ditarik, Vespa tak mau berjalan. Tidak mogok, tetapi rodanya tak berputar ketika menyentuh jalanan.

Kami terpaksa mendorong Vespa sambil berharap menemukan bengkel. Soalnya lagi, Vespa tak bisa diperbaiki di bengkel yang bukan khusus Vespa. Teman saya mencari tahu bengkel Vespa terdekat atau mobil pick-up yang bisa mengangkut Vespa ke bengkel.

Sementara itu, saya tidur di sebuah bangku kayu panjang di bawah sebuah pohon dekat warung di depan Asrama Haji Bekasi, Bekasi. Dalam tidur yang ala kadarnya itu, teman saya memanggil saya dari atas Vespa, dan mengajak saya ke bengkel.

Jalan keluar hari itu adalah membayar salah seorang pekerja Go-Jek yang sedang berkumpul di warung dekat tempat Vespa diparkir untuk menarik Vespa ke bengkel. Saat saya bangun di bangku kayu, Vespa sudah terikat tali yang menghubungkannya dengan motor Go-Jek. Saya naik di motor Go-Jek. Teman saya sudah berada di atas Vespa.

Kami sampai di sebuah bengkel tak jauh dari Stasiun Bekasi. Sebuah bengkel yang sepertinya milik warga Tionghoa. Selain ciri fisik, itu tampak dari cara pelanggan memanggil lelaki bercelana pendek dengan kemeja berkerah berwarna putih keabu-abuan yang bersikap seperti majikan. Mereka memanggilnya dengan “Koh”.

Di dalam bengkel, ada sofa yang bisa diduduki pelanggan. Dari tempat itu, saya mencium aroma garu, sesuatu yang sering saya cium ketika saya berkunjung ke rumah teman saya keturunan Tionghoa di kampung halaman.

Sekitar satu jam kami berada di sana, Vespa akhirnya bisa dikendarai lagi. Bagi saya yang awam soal otomotif, saya mengetahui masalah pada Vespa itu adalah gerigi tromolnya sudah aus sehingga besi as tidak bisa mendorong putaran roda. Tromol pun harus diganti baru.

Tak lama sebelum Vespa usai diperbaiki, teman yang hendak kami kunjungi datang. Lalu kami bergerak ke rumahnya.

Di rumah teman kami, kami beristirahat, makan, minum, menikmati sajian tuan rumah seperti kopi hitam panas dan makanan kecil. Teman kami kemudian melinting ganja. Lalu kami duduk di beranda. Hanya beberapa langkah dari beranda, warga setempat dan kerabat keluarga teman kami sedang bercengkerama. Sesekali ditandai dengan gelak-tawa.

Di rumah teman kami, saya menghisap ganja di kamar mandinya. Dan menghilangkan baunya dengan menyemprotkan pengharum ruangan di sana.

Bagaimana? Apakah ganja masih merupakan paranoia?

Beginilah jadinya: saya dan teman saya berkemas untuk pulang dari rumah teman kami. Saya membasuh muka sebelum keluar dari kamar mandi. Di beranda, saya mengenakan sepatu, lalu menyalami setiap orang yang ada di dekat sana.

Di tempat Vespa diparkir, teman saya bilang, “lo  ramah abis skab*.” Saya menjawabnya, “justru bagus dong.”

Teman kami melepas kami keluar dari gang.

Saya dan teman saya berpisah di putaran dekat Stasiun Tebet. Sebelum berpencar, teman saya memberikan saya uang. Saya menerimanya.

Jakarta, Desember 29-30 2015

*skab, bahasa slang untuk menghisap ganja.